Bayangkan jika pergi ke sekolah berarti berenang dan mengarungi air dan bakau, dan mengikat buku sekolah Anda dalam kantong plastik di atas kepala anda agar tidak basah.
Sementara itu, anda harus berjuang untuk menjaga kepala anda tetap di atas air dan berjuang melawan arus.
Untuk beberapa anak di Filipina, perjuangan ini adalah rutinitas sehari-hari - tetapi sebuah badan amal sedang berusaha untuk membantu mereka mengakses pendidikan dengan lebih mudah lewat penyediaan sejumlah perahu ke masyarakat.
The Yellow Boat of Hope Foundation awalnya dicetuskan di sosial media, namun beberapa tahun belakangan, gerakan ini telah menjadi kegiatan di seluruh negeri untuk membantu anak-anak sekolah yang membutuhkan.
Masyarakat pertama yang dilayani badan amal itu adalah komunitas nelayan dan petani rumput laut yang tinggal di rumah panggung di laut lepas pantai Kota Zamboanga, sebuah wilayah miskin di Mindanao.
Anak-anak itu harus mengarungi air sejauh satu kilometer hanya untuk sampai ke sekolah. Jika ombaknya tinggi, mereka terpaksa harus berenang.
"Hal ini berbahaya dan tidak aman, bahkan jika mereka adalah perenang yang baik," kata pendiri yayasan itu, Jay Jaboneta. Banyak dari anak-anak itu yang tidak bisa berenang dengan baik.
Namun, karena semua perahu masyarakat digunakan untuk mencari ikan, anak-anak itu tidak mempunyai pilihan lain.
Anak-anak harus menaruh buku dan seragam mereka di dalam kantong plastik agar tetap kering saat mereka menempuh perjuangan panjang dan sulit untuk pergi ke sekolah.
"Saya tidak tahu tentang situasi ini - ketika saya tahu, saya sangat terkejut dan mengunggahnya di Facebook," kata Jaboneta, yang tumbuh besar di dekat wilayah itu.
Teman-teman Jaboneta kemudian merespons hal ini dan beberapa menjanjikan bantuan uang untuk mengubah situasi ini.
Saat ini, yayasan ini aktif di seluruh Filipina, dengan kegiatan utama mendanai pengadaan kapal untuk sekolah. Kapal-kapal itu semuanya dicat dengan warna kuning cerah seperti warna bus sekolah di negara itu.
Sebuah perahu kecil berharga sekitar $ 200 (Rp 2,8 juta) dan dapat memuat sekitar enam hingga delapan anak, yang harus mendayung kapal sendiri.
Perahu yang lebih besar, beberapa di antaranya bahkan memiliki mesin, didayung oleh siswa yang lebih dewasa, orang tua atau guru.
Kapal, asrama, ruang kelas bergerak
Seiring dengan berkembangnya badan amal ini, badan ini juga mengambil beberapa proyek lain untuk membantu masyarakat miskin atau terpencil dalam mengakses pendidikan.
"Masalah yang dihadapi komunitas semacam itu sangat berbeda dari satu kasus ke kasus lainnya," kata Jaboneta.
Badan ini telah membangun asrama untuk anak-anak yang harus berjalan selama berjam-jam untuk sampai ke sekolah.
Salah satu proyek terbaru adalah pengoperasian perahu besar yang dilengkapi dengan fasilitas pendidikan sehingga kapal tersebut dapat dibawa ke komunitas terpencil oleh seorang guru. Kapal itu berfungsi sebagai ruang kelas bergerak.
Kapal-kapal dicat dengan warna kuning untuk menyerupai warna bus sekolah - Yellow boat of hope foundation
Secara keseluruhan, badan amal ini telah bekerja sama dengan hampir 200 komunitas sejak 2010.
"Biasanya kami bekerja dengan para tokoh masyarakat atau sekolah-sekolah lokal yang ada," kata Jaboneta.
"Setelah kami mendanai perahu, mereka dapat mengambil alih proyek itu dan mengoperasikannya sendiri."
Sumbangan untuk proyek ini sebagian besar berasal dari Filipina, katanya. Pengecualian terjadi di tahun 2013, setelah negara itu dihantam oleh topan Haiyan yang mematikan - setelah bencana ini, sumbangan-sumbangan untuk proyek ini ada yang datang dari luar negeri.
Tetapi biasanya, uang itu berasal dari penduduk setempat yang ingin membuat perubahan.
Anak-anak harus mendayung kapal sendiri - Yellow Boat of Hope Foundation
Oleh karena proyek ini dimulai dari Facebook, gerakan ini sering dipuji sebagai contoh dampak baik dari media sosial.
Meski Jaboneta setuju bahwa unggahannya di awal sangat penting untuk membuat proyek ini berjalan, dia mengatakan elemen vital dari program ini tidak terjadi di dunia daring.
Mereka harus mencari donor, duduk bersama para donor, berkoordinasi dengan para pemimpin masyarakat setempat - dan masih banyak pekerjaan lain yang dilakukan oleh sukarelawan.
"Saya tidak pernah membayangkan bahwa kapal bisa menjadi sebuah alat yang begitu penting, sehingga bisa membuat perbedaan," kata Jaboneta, yang menyimpulkan pengalamannya selama beberapa tahun terakhir.
"Filipina adalah negara kepulauan dengan sekitar 7.000 pulau sehingga ada kapal di mana-mana - bahkan diestimasi terdapat sekitar satu juta kapal di seluruh negeri. Dengan demikian, anda dapat dengan mudah membuat kesalahan dalam meremehkan pentingnya kapal [bagi anak-anak sekolah]," katanya.