Jakarta, Indonesia -- Teriakan yang bersahut-sahutan terdengar di jalanan Istanbul yang dikelilingi oleh pertokoan dan pedagang kaki lima. Suara tersebut bukan berasal dari orang yang bertengkar, melainkan dari transaksi lelang yang tengah berlangsung.
Lelang bukan cuma menjadi sistem jual beli kaum elit. Di pasar tradisional Istanbul, seperti di Pasar Balat, konsep tersebut juga berlaku.
Pasar Balat berada di kawasan Golden Horn yang disesaki oleh toko kecil, kafe hipster dan gereja bersejarah. Di pasar ini segala barang bekas, mulai dari furnitur sampai mainan, dijual dengan sistem lelang.
Sejak lima tahun yang lalu, rumah lelang yang menawarkan barang bekas dengan harga murah mulai bermunculan di Balat. Rumah lelang ini menjadi solusi bagi penduduk Istanbul yang ingin mengenyahkan barang bekasnya namun tetap bisa mengantongi keuntungan.
Sistem lelang juga disambut baik oleh sebagian kalangan yang membutuhkan barang dengan harga murah, terutama setelah mata uang Turki, Lira, dihajar oleh Dolar AS sejak tahun lalu.
Setiap kali digelar lelang, rumah lelang selalu dipadati oleh pengunjung, baik yang mengincar barang maupun menyaksikan keseruannya.
"Saya datang ke sini untuk berjalan-jalan dengan anak saya. Tetapi saat mendengar ada acara lelang, kami jadi tertarik untuk ikut serta," kata Murat, berdiri di depan kasir, setelah memenangkan penawaran untuk pena laser untuk putranya seharga 10 Lira (sekitar Rp26 ribu).
"Saya tidak pernah datang ke pelelangan sebelumnya. Saya selalu berpikir acara itu untuk orang kaya. Saya sangat suka suasana di sini. Cukup menyenangkan dan harganya sangat masuk akal. Saya pasti akan datang lagi," lanjutnya.
Rumah lelang akan berusaha habis-habisan untuk
mendatangkan banyak orang.
Juru Lelang Ali Tuna mengundang mereka yang ragu-ragu di pintu untuk masuk dan duduk. Setelah semua orang duduk di dalam ruangan, Ali berceloteh bak pelawak standup.
Mengenakan topi fedora hitam dan mikrofon clip-on, ia dengan terampil mendeskripsikan setiap barang yang dilelang kepada pengunjung.
Terkadang ia membawa barang berkeliling agar pengunjung bisa melihatnya dengan dekat, baik itu pena sederhana, belati atau cermin perak.
"Saya harus menjaga suasana tetap dinamis," kata Ali.
"Saya tidak bisa membiarkan energi pelelangan ini padam."
Bagi sebagian pengunjung, "pria bertopi" adalah sejumlah alasan mereka untuk kembali ke rumah pelelangan Ali.
"Anda bertemu orang yang berbeda, ada yang datang untuk memuaskan selera mereka akan barang antik dan beberapa hanya untuk barang berharga lima sen," ujar Ali.
Suasana yang menghibur, hampir seperti sebuah pertunjukan, sangat penting bagi bisnis ini.
Karena komisi yang dibebankan untuk barang yang terjual sangat murah, sebuah rumah lelang harus aktif melakukan acara pelelangan setiap hari, dengan pengunjung yang banyak.
Beberapa rumah lelang merangkap sebagai kafe, menambah daya tarik atmosfer dan memberi pengelola sumber pendapatan lain.
"Sangat menyenangkan di sini," kata Hulya Sahin, seorang wanita paruh baya.
"Saya bergabung dengan pelelangan untuk bersosialisasi."
Setiap harinya terdengar suara kegembiraan pengunjung yang memenangkan lelang.
"Sepuluh lira, tapi aku mencari 15, sekarang 20, sekarang 35, 40 dan 50," teriak Ali sambil mengangkat mainan mobil model Ford berwarna biru.
"Ini sangat kompetitif," kata Nil Su, seorang mahasiswi yang membayar 50 Lira untuk mainan tersebut yang akan diberikan kepada adik lelakinya.
"Saya bisa membelinya dengan harga yang jauh lebih rendah tetapi pria itu terus menaikkan harga," katanya tersenyum sambil menunjuk seorang pria tua yang duduk di barisan depan yang terus
menaikkan tawaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar